Setelah membubarkan organisasi Jamaah Islamiyah (JI), sejumlah eks pimpinannya berjanji tidak akan lagi menggunakan jalan kekerasan. Mereka juga mengeklaim bakal meninggalkan pola pikir ekstrem dalam menyebarkan ajaran-ajarannya. Apa motif tersembunyi di baliknya dan apakah pembubaran itu semata 'mengubah citra' agar ajaran mereka dapat diterima masyarakat?
Pada 30 Juni lalu, 16 tokoh senior Jamaah Islamiyah mendeklarasikan pembubaran kelompok teroris itu di Bogor, Jawa Barat.
Video yang merekam deklarasi itu pertama diunggah di kanal YouTube Arrahmah_id pada 3 Juli.
Di video itu, Arrahmah_id menempelkan keterangan bahwa acara berlangsung di kantor Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) di Bogor.
"[Kami] menyatakan pembubaran Al-Jamaah Al-Islamiyah dan kembali ke pangkuan Negara Kesatuan Republik Indonesia," kata Abu Rusdan, mantan amir atau pemimpin Jamaah Islamiyah, seperti terekam dalam video.
Lewatkan Artikel-artikel yang direkomendasikan dan terus membaca
Artikel-artikel yang direkomendasikan
Wacana pembatasan BBM bersubsidi, bagaimana mekanismenya?
Jerman punya program visa baru, mempermudah warga non-Uni Eropa dapat kerja
Petinggi Kominfo mundur 'sebagai tanggung jawab moral' setelah Pusat Data Nasional diretas
Orang-orang Palestina mengaku akunnya diblokir Microsoft setelah menelepon ke Gaza - 'Mereka membunuh kehidupan daring saya'
Akhir dari Artikel-artikel yang direkomendasikan
Saat menyampaikan deklarasi pembubaran, Rusdan dikelilingi 15 tokoh senior Jamaah Islamiyah lainnya.
Di antaranya ada mantan amir Zarkasih, mantan amir Para Wijayanto, dan mantan kandidat amir Arif Siswanto alias Abu Mahmudah. Terlihat pula mantan kepala operasi militer Abu Dujana dan kepala urusan dakwah Mustaqim Safar.
Acara deklarasi itu juga dihadiri Bambang Sukirno yang sempat memimpin sejumlah misi pelatihan militer ke Suriah. Sosok Abdullah Anshori alias Abu Fatih, yang pernah menjadi kepala Mantiqi (wilayah gerak) II Jamaah Islamiyah di Indonesia, tampil pula di sana.
Tentang lokasi deklarasi, Ali Fauzi Manzi, eks anggota Jamaah Islamiyah yang kini menjadi pengamat terorisme, mengatakan itu digelar di sebuah hotel di Bogor.
Ia bilang deklarasi dilakukan setelah muncul kesepakatan dalam diskusi yang dihadiri lebih dari 100 anggota Jamaah Islamiyah di hotel itu.
Menurut Ali Fauzi, diskusi itu antara lain dihadiri para tokoh senior dan pimpinan sejumlah pesantren yang berafiliasi dengan organisasi.
Diskusi ini, katanya kepada BBC News Indonesia, difasilitasi Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Mabes Polri.
Lebih lanjut, Rusdan bilang pihaknya siap "terlibat aktif mengisi kemerdekaan" untuk memajukan bangsa Indonesia dan mengikuti peraturan hukum yang berlaku serta berkomitmen "menjalankan hal-hal yang merupakan konsekuensi logisnya".
Ia pun menjamin bahwa kurikulum dan materi ajar di pesantren yang berafiliasi dengan Jamaah Islamiyah akan terbebas dari sifat dan sikap tatharuf atau ekstrem, dan bakal merujuk pada paham ahlussunnah wal jamaah – komunitas yang senantiasa memegang teguh sunah Nabi Muhammad SAW.
Terkait hal tersebut, pihaknya akan membentuk tim pengkajian kurikulum dan materi ajar.
"Hal-hal yang berkaitan dengan kesepakatan di atas akan dibicarakan dengan negara, [khususnya] Densus 88 Antiteror Mabes Polri," ujar Rusdan.
Mohammad Nuruzzaman, staf khusus Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas bidang radikalisme dan intoleransi, menyambut baik deklarasi pembubaran Jamaah Islamiyah.
"Saya kira sikap tegas JI untuk kembali ke NKRI patut diapresiasi, [mereka] tidak ngambang seperti HTI [Hizbut Tahir Indonesia]," kata Nuruzzaman.
Mengapa tiba-tiba Jamaah Islamiyah membubarkan diri?
Pembubaran ini bukan sesuatu yang tiba-tiba terjadi, setidaknya menurut Ali Fauzi Manzi, mantan ahli bom Jamaah Islamiyah sekaligus adik dari trio pelaku bom Bali 2002: Ali Gufron alias Mukhlas, Amrozi, dan Ali Imron.
Bahkan, menurut Ali Fauzi, sejak kakaknya Ali Imron ditangkap pada Januari 2003, telah muncul kelompok kecil di Jamaah Islamiyah yang menyuarakan ide pembubaran organisasi.
Ali Fauzi pun mengaku pernah menyampaikan pemikiran serupa ke rekan-rekannya di organisasi.
"Tapi pada waktu itu kan mereka malah menghujat saya," katanya pada BBC News Indonesia, Minggu (07/07).
Selama kira-kira dua dekade terakhir, ide pembubaran itu disebut perlahan kian menguat, terutama karena berbagai penangkapan anggota Jamaah Islamiyah.
"Jika ini terus berlanjut, makin banyak anggota JI yang ditangkap, makin banyak yang sengsara. Anak dan istrinya, keluarganya pun ikut sengsara," kata Ali Fauzi.
Lewati Podcast dan lanjutkan membaca
Investigasi: Skandal Adopsi
Investigasi untuk menyibak tabir adopsi ilegal dari Indonesia ke Belanda di masa lalu
Episode
Akhir dari Podcast
Di saat yang sama, kata Ali Fauzi, semakin sedikit orang yang berani memberikan bantuan kepada anggota Jamaah Islamiyah yang ditangkap polisi ataupun keluarga mereka. Maksud hati bersimpati, mereka yang membantu bisa jadi malah ikut ditangkap polisi.
Karena itu, Ali Fauzi bilang para petinggi Jamaah Islamiyah mempertimbangkan dengan serius pembubaran organisasi dan kembali ke NKRI.
Para Wijayanto, mantan amir atau pimpinan Jamaah Islamiyah yang ditangkap pada 2019, disebut sebagai sosok yang berinisiatif mengumpulkan tokoh-tokoh senior dan pemimpin pesantren yang berafiliasi dengan organisasi untuk membicarakan pembubaran ini.
Para mulanya mendiskusikan ide ini dengan beberapa tokoh Jamaah Islamiyah lainnya, sebelum menyampaikannya kepada Densus 88 Antiteror Mabes Polri.
Densus 88 lantas memfasilitasi pertemuan para anggota Jamaah Islamiyah di sebuah hotel di Bogor, Jawa Barat, pada 30 Juni lalu, hingga akhirnya lahir deklarasi pembubaran itu, kata Ali Fauzi.
Baca juga:
- Profil Jamaah Islamiyah
- Negara Islam Indonesia, mengapa disebut jadi 'ibu kandung' kelompok terorisme di Indonesia?
- Islam khas Indonesia 'terancam' pengaruh Timur Tengah
Deklarasi itu, katanya, menandai perubahan tujuan para mantan anggota Jamaah Islamiyah.
"Kalau tujuan kemarin kan jelas itu, memerangi Indonesia dan mendirikan negara Islam. Sekarang pemikiran-pemikiran ini dihapuskan dari visi-misi mereka," kata Ali Fauzi.
"Sekarang tujuannya lebih mengerucut, lebih kepada tarbiyah wa dakwah, lebih kepada pendidikan dan dakwah. Tidak ada jihadnya lagi. Kalau dulu itu kan enggak bisa dipisah, dakwah wa jihad."
Pergeseran fokus Jamaah Islamiyah ke pendidikan dan dakwah sesungguhnya telah terjadi sejak kira-kira 16 tahun terakhir.
Lembaga riset Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC) mencatat, titik baliknya muncul pada 2007, saat Jamaah Islamiyah nyaris binasa pasca-bentrokan bersenjata dengan polisi di Poso, Sulawesi Tengah.
Apalagi, saat itu 40 anggota kelompok teroris yang berafiliasi dengan Al-Qaeda itu ditangkap, termasuk sejumlah petingginya.
Namun, perlahan Jamaah Islamiyah membangun ulang kekuatannya.
Dalam sebuah pertemuan di Surabaya, Jawa Timur, pada 2008, Para terpilih menjadi amir baru. Dan, di bawah pimpinannya, Jamaah Islamiyah mengalihkan fokus pada dakwah dan penyebaran pengaruh politik alih-alih jihad dengan jalan kekerasan.
Dengan fokus baru di bawah pimpinan Para, kelompok ini lantas kerap disebut Neo Jamaah Islamiyah.
"Keputusan untuk fokus pada dakwah dibandingkan operasi atau amaliyah merupakan pengakuan atas kelemahan [Jamaah Islamiyah] yang ada saat ini sekaligus sebagai perhitungan strategis ke depan," tulis IPAC dalam laporannya pada 2017 berjudul "The Re-emergence of Jemaah Islamiyah".
"JI membutuhkan basis massa yang lebih luas dan hal ini hanya dapat dicapai dengan menjangkau [publik] melalui ceramah-ceramah di tempat umum atau taklim."
Bukan berarti Jamaah Islamiyah sepenuhnya meninggalkan jihad. Namun, bila operasi jihad dinilai melemahkan tujuan utama untuk membangun basis massa melalui dakwah, maka ia harus dihentikan atau ditinjau ulang, menurut IPAC.
Sejalan dengan pernyataan Ali Fauzi, berbagai penangkapan anggota Jamaah Islamiyah disebut IPAC memberi tekanan besar pada organisasi tersebut.
Sejak setidaknya 2017, menurut IPAC, polisi menemukan bahwa Jamaah Islamiyah telah mengirimkan sejumlah anggotanya ke Suriah untuk mengikuti pelatihan militer.
Karena itu, polisi mulai menggencarkan kembali investigasinya terhadap kelompok tersebut hingga berhasil menangkap amir Para pada 2019.
Dari sana, diketahui bahwa jumlah anggota Jamaah Islamiyah pimpinan Para telah tumbuh hingga sekitar 6.000 – Ali Fauzi bahkan menduga angkanya bisa menyentuh 10.000.
Hal ini disebut menimbulkan dilema, baik bagi polisi ataupun petinggi Jamaah Islamiyah.
Sidney Jones, penasihat senior IPAC, mengatakan sulit bagi Densus 88 Antiteror Polri bila ingin menangkap seluruh anggota Jamaah Islamiyah tersebut, apalagi mengingat keterbatasan sumber daya mereka.
Di sisi lain, para petinggi Jamaah Islamiyah juga menghadapi situasi sulit. Bila organisasi terus beroperasi seperti biasa, akan ada lebih banyak anggotanya yang ditangkap dan aset-aset – terutama pesantren – yang disita.
Jadi, pertimbangan membubarkan Jamaah Islamiyah tidak hanya memperhitungkan kemaslahatan anggota seperti kata Ali Fauzi, tapi bisa jadi juga terkait erat dengan upaya mempertahankan aset.
Menurut Ali Fauzi, ada "ratusan" pesantren di Indonesia yang berafiliasi dengan Jamaah Islamiyah, "dari Aceh sampai Sulawesi Utara".
"Para petinggi JI terpaksa menghadapi kenyataan pahit: eliminasi atau kooperasi," kata Sidney.
Menurut catatan IPAC, polisi mulai berdialog secara intensif dengan sejumlah petinggi Jamaah Islamiyah sejak 2022, termasuk Abu Rusdan, Arif Siswanto, dan Para yang tengah menjalani masa tahanan serta Bambang Sukirno dan Abdullah Anshori.
Para petinggi Jamaah Islamiyah kemudian setuju membubarkan organisasi itu, yang disebut bertanggung jawab atas rentetan bom natal pada 2000, bom Bali pada 2002, dan sejumlah teror lainnya. Dan, terjadilah deklarasi pembubaran pada 30 Juni lalu.
"Analisis untung-rugi menunjukkan bahwa satu-satunya jalan untuk melindungi aset-aset terbesar JI, yaitu sekolah-sekolah [pesantren] mereka, adalah dengan menanggalkan statusnya sebagai organisasi rahasia atau tanzim sirri dan beroperasi secara terbuka sebagai jaringan di atas tanah," kata Sidney.
Apakah cita-cita negara Islam benar-benar ditinggalkan?
Sidney Jones, penasihat senior IPAC, memperkirakan para mantan anggota Jamaah Islamiyah akan mendirikan entitas baru yang berfokus pada pendidikan.
Imbasnya, lembaga pendidikan atau pesantren yang berafiliasi dengan mantan anggota Jamaah Islamiyah bisa jadi bakal menjamur.
Karena itu, meski tampaknya mereka tak lagi bisa mengakses pelatihan-pelatihan militer di luar negeri, Sidney menilai perjuangan mewujudkan negara Islam kemungkinan akan terus berlanjut lewat "cara-cara damai", termasuk melalui jaringan pesantren mereka.
"Jika mereka berfokus pada pengajaran dan pesantren-pesantrennya, menurut saya mereka juga akan meletakkan fokus pada bagaimana membuat negara ini lebih dipengaruhi ajaran Islam," kata Sidney.
"Saya rasa itu adalah jalan tengah bagi JI. Mereka tidak meninggalkan tujuan mendirikan negara Islam, tapi tidak lagi menggunakan kekerasan untuk memperjuangkannya."
Ali Fauzi Manzi, mantan anggota Jamaah Islamiyah yang kini menjadi pengamat terorisme, mengatakan hingga kini ia belum mendengar rencana pembentukan organisasi baru.
Meski begitu, ia bilang para eks anggota Jamaah Islamiyah memang berniat "kembali ke kandangnya masing-masing, membesarkan pondok pesantren mereka".
Zaki Mubarak, pengamat terorisme dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, juga mengatakan deklarasi pembubaran Jamaah Islamiyah kemungkinan hanya strategi organisasi untuk tetap bertahan hidup.
Pembubaran organisasi, katanya, tak serta-merta berarti peninggalan ideologi.
Apalagi, katanya, saat deklarasi pembubaran, Abu Rusdan tidak secara eksplisit menyatakan bahwa ideologi yang selama ini dipegang Jamaah Islamiyah salah atau bahwa para petinggi organisasi itu akan mengoreksinya.
Selain itu, tidak ada permintaan maaf dari para petinggi Jamaah Islamiyah atas tindakan organisasinya di masa lalu.
Selama satu dekade terakhir, kata Zaki, Jamaah Islamiyah pun kerap menggunakan taktik "merusak sistem dari dalam".
Mereka yang dipenjara juga aktif terlibat dalam program deradikalisasi, yang disebutnya hanyalah upaya agar mereka mendapat "diskon hukuman, cepat bebas, dan kemudian bergerak lagi".
"Jadi masih ada tanda tanya besar," kata Zaki.
"Saya cenderung melihat perubahan baru hanya pada casing-nya, tapi bukan pada isinya."
Baca juga:
- ASN dipecat karena terpapar radikalisme dinilai tak selesaikan akar masalah, lalu program deradikalisasi apa yang tepat bagi mereka?
- Eks ISIS asal Indonesia dan program deradikalisasi: 'Pemerintah belum siap dalam format dan pelaksanaan'
- Perang kelompok yang mendakwahkan 'deradikalisasi' dan menyuarakan 'radikalisasi': Cerita perakit bom yang menghadapi ancaman pembunuhan
Stanislaus Riyanta, pengamat terorisme dan dosen Sekolah Kajian Stratejik dan Global (SKSG) Universitas Indonesia, menyampaikan hal senada.
Para petinggi Jamaah Islamiyah memang menjamin bahwa kurikulum dan materi ajar di lembaga pendidikan dan pesantren yang berafiliasi dengan mereka akan terbebas dari sifat dan sikap tatharuf atau ekstrem.
Namun, kata Stanislaus, bisa jadi itu hanyalah bagian dari usaha mantan anggota Jamaah Islamiyah agar bisa diterima di masyarakat.
Maka, ia bilang publik dan otoritas terkait mestinya tidak terburu-buru senang dan percaya dengan pembubaran itu sehingga melonggarkan kewaspadaan.
"Saya tetap yakin bahwa ideologi tidak semudah itu berbalik," kata Stanislaus.
"Jadi, kita harus tetap lihat apa kemungkinannya, dan skenario-skenario itu harus kita siapkan strategi antisipasinya."
Mohammad Nuruzzaman, staf khusus Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas bidang radikalisme dan intoleransi, mengatakan jajaran Kementerian Agama tetap perlu mendampingi sejumlah pesantren yang selama ini berafiliasi dengan Jamaah Islamiyah agar bisa menggunakan kurikulum yang dirumuskan negara.
"Proses pendampingan dan pendekatan perlu terus dilakukan agar kembalinya JI ke NKRI tidak hanya pada level pimpinan tapi juga hingga ke seluruh anggotanya di akar rumput," kata Nuruzzaman.
Meski begitu, Sidney dari IPAC mengingatkan bahwa bahaya sesungguhnya dari pesantren-pesantren Jamaah Islamiyah bukan pada kurikulumnya, tapi kegiatan ekstrakurikulernya.
Penyebaran nilai-nilai, kata Sidney, justru kerap terjadi di diskusi informal di luar jam belajar atau bahkan melalui kegiatan komunitas pencinta alam.
"Jadi, meskipun pesantren-pesantren [berafiliasi Jamaah Islamiyah] akan memasukkan bagian-bagian dari kurikulum nasional seperti yang terjadi di Ngruki [di Jawa Tengah], itu tak berarti bahayanya sudah hilang sepenuhnya karena masih ada pula kegiatan ekstrakurikuler," ujar Sidney.
Al Chaidar, pengamat terorisme dari Universitas Malikussaleh, bilang bila mantan anggota Jamaah Islamiyah ingin membersihkan namanya, lebih baik mereka mewakafkan pesantren mereka kepada kampus seperti Universitas Islam Negeri (UIN) atau Institut Agama Islam Negeri (IAIN).
"Aset tersebut kalau tetap mereka kuasai, walaupun dengan nama lembaga yang lain, itu tetap akan dicap sebagai aset teroris," kata Chaidar.
"Masyarakat akan menganggap bahwa itu adalah aset teroris dan mereka tidak akan menyekolahkan anaknya atau mengirimkan anaknya ke lembaga-lembaga pendidikan tersebut."
Kemungkinan hadirnya kelompok sempalan
Tak lama setelah para petinggi Jamaah Islamiyah mendeklarasikan pembubaran organisasinya, muncul reaksi keras dari Irfan S. Awwas, dedengkot kelompok Islam radikal lainnya: Majelis Mujahidin Indonesia (MMI).
Tanggapan Awwas terbit pada 4 Juli di situs Arrahmah.id. Situs ini dulunya bernama Arrahmah.com, dan sempat diblokir Kementerian Komunikasi dan Informatika pada 2015 atas permintaan BNPT karena dianggap radikal.
Dalam tulisannya, Awwas menilai keputusan pembubaran Jamaah Islamiyah sebagai "kesadaran yang terlambat di saat momentum tidak tepat".
Padahal, katanya, dulu MMI telah menyampaikan pada Abu Bakar Ba'asyir, salah satu pendiri Jamaah Islamiyah, untuk membubarkan organisasi itu, tapi ditolak.
Sekarang, pembubaran dilakukan anak-anak buah Ba'asyir, kata Awwas, yang menunjukkan "penyakit aktivis jihad": inkonsisten, kurang agresif dan responsif, sulit menyimpan rahasia, dan kurang amanah.
Maka, pembubaran yang terjadi dianggap Awwas sebagai pengkhianatan terhadap para pendiri Jamaah Islamiyah yang telah meninggal.
"Seharusnya malu kepada Allah, Rasulullah, dan para mujahid terdahulu. Perubahan pemikiran dan sikap hendaknya berdasarkan ilmu yang benar, bukan pragmatisme," kata Awwas dalam tulisannya yang berjudul "Pasca-Bubar dan Minta Maaf, JI Dapat Apa?"
Zaki Mubarak, pengamat terorisme dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, mengatakan reaksi Awwas itu muncul karena tindakan para petinggi Jamaah Islamiyah yang dianggap mencerminkan "lemah iman" dan "lemah semangat jihad".
Meski begitu, Zaki yakin bahwa para pengikut Jamaah Islamiyah akan mematuhi keputusan para petingginya. Apalagi, 16 orang yang menyampaikan deklarasi pembubaran adalah tokoh-tokoh yang sangat dihormati.
"Para pengikut saya kira paham bahwa itu bukan pertobatan yang sebenarnya, tapi ada tujuan lain," kata Zaki.
Baca juga:
- ISIS, terorisme dan pertobatan tiga WNI 'eks jihadis' di Suriah: 'Kamu harus pulang, ayah dan ibumu tak restui kepergianmu'
- Mantan napi teroris beralih jadi tukang jagal ayam: ‘Saya pernah dikafirkan, gara-gara anak saya sekolah di negeri’
- Sejumlah eks napi teroris 'bertobat atas inisiatif pribadi', peran pemerintah 'minim'
Stanislaus Riyanta, dosen Sekolah Kajian Stratejik dan Global (SKSG) Universitas Indonesia, memiliki pandangan berbeda.
Menurutnya, bisa saja ada anggota Jamaah Islamiyah yang tidak sepakat dengan keputusan para elite organisasi, sehingga memutuskan berkumpul membentuk grup baru atau melancarkan aksi sendiri-sendiri.
"Banyak terjadi ketika kelompok bubar, maka dia membentuk kelompok baru, mau melanjutkan misi mereka," kata Stanislaus.
"Namun, bisa jadi ketika mereka tidak punya cukup sumber daya, atau mungkin karena ada batasan-batasan – mungkin mereka terpantau [pergerakannya], mereka akan melakukan aksi-aksi yang sifatnya lone actor."
Sidney Jones, penasihat senior IPAC, juga bilang tidak semua anggota Jamaah Islamiyah bakal senang dengan keputusan pembubaran organisasi, dan bukan tidak mungkin akan muncul kelompok sempalan sebagai konsekuensi.
Ada sejumlah wilayah pendukung Jamaah Islamiyah yang menurut analisis IPAC patut diwaspadai terkait risiko munculnya kelompok sempalan, yaitu Sulawesi Tengah (utamanya Poso), Banten, Jawa Barat, dan Lampung.
"Masing-masing wilayah tersebut memiliki sejarah keterlibatan militan sejak lama, dan jumlah cendekiawan [Jamaah Islamiyah] di wilayah tersebut lebih sedikit dibandingkan di Jawa Tengah," kata Sidney.
"Jadi, pengaruh orang-orang yang menandatangani pernyataan [pembubaran] itu mungkin tidak sampai ke wilayah tersebut."
Baca juga:
- Ali Kalora tewas, apakah jadi akhir kelompok teroris Mujahidin Indonesia Timur yang berafiliasi dengan ISIS di Poso?
- Penggerebekan di Tangerang, Densus 88 tangkap seorang perempuan dan dua terduga teroris
- Bom Bandung: '10% eks napi teroris yang sudah bebas kembali lakukan kekerasan'
- Dua polisi di Lampung ditangkap diduga terkait terorisme, penyebaran paham radikal di dalam tubuh Polri 'belum seluruhnya terdeteksi'
Ini tidak berarti para simpatisan Jamaah Islamiyah di wilayah-wilayah tersebut akan melakukan kekerasan, kata Sidney. Namun, bisa jadi mereka lebih enggan menunjukkan dukungan terhadap keputusan pembubaran organisasi.
Kalaupun muncul pergerakan untuk membentuk kelompok baru, butuh waktu sebelum ia "mengkristal" dan bisa ditemukan pemimpin yang dapat membuat organisasi alternatif itu berjalan secara berkelanjutan, ujar Sidney.
Kehadiran kelompok sempalan pun disebut bergantung pada kondisi politik Indonesia.
"Contohnya, jika ada kerusuhan di jalanan seperti yang terjadi pada Mei 1998, akan ada kemungkinan lebih besar bagi munculnya kelompok sempalan yang tidak sepenuhnya setuju dengan pembubaran untuk mengambil keuntungan dari kekacauan itu," ujar Sidney.
"Jadi, kemungkinannya kecil dalam waktu dekat, tapi kita tidak tahu apa yang akan terjadi ke depan."
Ali Fauzi Manzi, mantan anggota Jamaah Islamiyah yang kini menjadi pengamat terorisme, bilang wajar bila ada beberapa orang yang tidak setuju dengan keputusan pembubaran organisasi dan kembali ke NKRI.
Yang pasti, bila ada mantan anggota yang melancarkan teror di masa depan, Ali Fauzi bilang aksi tersebut tidak bisa dikaitkan lagi dengan Jamaah Islamiyah.
"Karena sudah resmi JI dibubarkan," katanya.
Irfan Idris, Direktur Pencegahan BNPT, berharap keputusan pembubaran Jamaah Islamiyah dapat diterima seluruh anggota organisasi itu.
"Semoga simpatisan pendukung JI lainnya juga memiliki komitmen yang sama untuk ikut membubarkan diri dari kegiatan jaringan dan penyebaran paham," kata Irfan.
Untuk mengantisipasi munculnya kelompok sempalan, Irfan merujuk kebijakan pencegahan tidak pidana terorisme yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 5/2018.
"Pencegahan [dilaksanakan melalui] kesiapsiagaan nasional, kontraradikalisasi, dan deradikalisasi."